Breaking News

Unrika dan Polda Kepri Bersinergi Sosialisasikan KUHP Baru: Dari Kampus ke Masyarakat


Riau | Mitramabesnews.id - Menjelang implementasi penuh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Januari 2026, Polda Kepulauan Riau (Kepri) terus menggalakkan sosialisasi hukum kepada masyarakat. Dalam salah satu kegiatan penyuluhan yang digelar di aula Hotel Pasific, Batam, Polda Kepri mengundang berbagai elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi, mahasiswa, ormas, hingga tokoh masyarakat (10/7/2025).

Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah hadirnya Dr. Alwan Hadiyanto, S.H., M.H., akademisi hukum dari Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam, yang menjadi narasumber dalam sosialisasi tersebut. selama ini, ia dikenal aktif mengkaji isu-isu pembaruan hukum pidana nasional. Dalam wawancaranya Alwan menyampaikan pandangan kritis sekaligus konstruktif terhadap isi dan proses sosialisasi KUHP baru yang sedang digalakkan.

“KUHP lama merupakan warisan kolonial, sementara UU Nomor 1 Tahun 2023 adalah produk hukum nasional. Ini bukan hanya soal mengganti teks, tapi juga menggeser paradigma,” ujar Alwan membuka pembicaraan.

Menurut Alwan, perbedaan mendasar antara KUHP lama dan yang baru terletak pada akar nilai hukum yang menjadi pijakan. KUHP kolonial mengusung asas hukum Eropa, sedangkan KUHP 2023 bertumpu pada nilai-nilai Pancasila, norma sosial-budaya Indonesia, dan prinsip keadilan restoratif. 
“Pendekatan retributif sudah mulai ditinggalkan. KUHP baru memperkenalkan keadilan restoratif, mengedepankan penyelesaian secara damai untuk perkara-perkara ringan, serta mengakui hukum adat atau living law,” terang Alwan. 

Namun di satu sisi, sejumlah pasal dinilai mengandung potensi multitafsir. Misalnya, Pasal 240, 241, dan 351 yang mengatur penghinaan terhadap lembaga negara. Alwan menekankan perlunya kehati-hatian dalam menafsirkan pasal-pasal tersebut agar tidak digunakan sebagai alat represi.

“Kalau tafsirnya tidak jelas, bisa-bisa kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai penghinaan. Ini berbahaya bagi demokrasi. Perlu standar pembuktian yang ketat, penafsiran tidak boleh pakai analogi, dan aparat harus paham prinsip-prinsip HAM,” ujarnya.

Namun demikian, ia juga mencatat bahwa dalam KUHP baru terdapat mekanisme perlindungan seperti delik aduan, serta syarat penyampaian di muka umum yang menuntut pembuktian hukum lebih ketat. Tantangan terbesarnya, menurut Alwan, adalah pada implementasi oleh aparat penegak hukum. 

Alwan menilai bahwa perubahan mendasar dalam KUHP baru, baik dari segi terminologi seperti living law hingga konsep sanksi sosial dan pendekatan filosofis menuntut pelatihan mendalam dan berkelanjutan bagi polisi, jaksa, dan hakim.

“Tanpa pelatihan yang serius dan menyeluruh, akan ada ketimpangan implementasi antarwilayah. Bisa terjadi bias tafsir atau bahkan penyalahgunaan hukum,” katanya.

Ia mendorong agar pelatihan tidak hanya bersifat teoritik, tetapi juga mencakup simulasi kasus, penguatan etika profesi, dan peningkatan kesadaran terhadap HAM. Dalam konteks masyarakat luas, Alwan menggarisbawahi pentingnya penggunaan bahasa hukum yang sederhana dan kontekstual agar masyarakat awam dapat memahami perubahan yang terjadi.

Ia mengusulkan agar media sosial, tokoh adat, ormas, dan kampus dilibatkan secara aktif dalam menyampaikan materi KUHP baru. “Kalau bahasa hukumnya tetap elitis dan kaku, ya orang biasa nggak akan paham. Harus diubah pendekatannya, dibuat infografis, video pendek, atau disampaikan lewat forum warga,” tegas Alwan.

Sebagai akademisi dari Unrika, Alwan menyerukan agar perguruan tinggi tidak sekadar menjadi menara gading. Menurutnya, dunia akademik harus aktif menyosialisasikan isi KUHP baru dan mengawal implementasinya.

“Mahasiswa hukum bisa terlibat lewat klinik hukum, pengabdian masyarakat, bahkan membuat forum diskusi dan seminar untuk mengkritisi pasal-pasal kontroversial,” kata Alwan.

Ia juga menambahkan bahwa kampus perlu mendorong publikasi media edukatif seperti artikel populer, video pendek, dan konten interaktif yang dapat menjangkau masyarakat luas.

Meski belum dapat disimpulkan secara konkret, Alwan menilai langkah Polda Kepri sudah mengarah pada pendekatan yang responsif dan progresif, terlebih jika mulai membangun sinergi dengan akademisi dan LSM. 

Namun ia menekankan bahwa masih ada waktu hingga Januari 2026 untuk memperkuat strategi implementasi, di antaranya melalui: Penyusunan SOP internal baru berdasarkan KUHP 2023,
Penguatan kolaborasi dengan perguruan tinggi seperti Unrika, dan
Pemantauan terhadap persepsi publik agar tidak muncul resistensi terhadap pembaruan hukum.

seyogyanya, KUHP baru menuntut partisipasi lintas sektor mulai dari aparat, akademisi, hingga masyarakat sipil. Dengan pendekatan yang mengedepankan edukasi, Polda Kepri bersama akademisi seperti Alwan dari Unrika dapat menjadi pionir dalam mewujudkan hukum pidana yang bukan hanya represif, tetapi juga humanis dan berkeadilan sosial.

“KUHP baru adalah peluang memperbaiki wajah hukum kita. Tapi hanya akan jadi teks mati kalau tak disosialisasikan secara merata dan dipahami rakyat,” tutup Alwan dengan penuh harap.

sementara itu, Wakapolda Kepri Brigjen Pol. Dr. Anom Wibowo, S.I.K., M.Si.,  dalam kegiatan sosialisasi tersebut menekankan bahwa pemahaman terhadap KUHP baru tidak bisa hanya dimiliki oleh aparat, melainkan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat.

“Kami terus membuka ruang diskusi publik dan mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama memahami isi KUHP baru. Ini bukan hanya milik aparat penegak hukum, tapi juga masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa,” kata Anom Wibowo dalam sambutannya.

di lain sisi, Kabidkum Polda Kepri Kombes. Pol. Djoko Trisulo, S.I.K., menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk tanggung jawab Polri dalam pembinaan hukum internal dan eksternal. “Sebagai aparat penegak hukum, kita harus siap menghadapi pemberlakuan undang-undang ini,” ucap Djoko Trisulo.

korwil kepri.
© Copyright 2022 - Mitra Mabes News