Breaking News

Simalungun Memanas: Eksekusi 1.312 Hektare Dihadang Warga, Keturunan Raja Tanah Jawa Bongkar Dugaan Perampasan Hak Waris


Simalungun | Mitramabesnews.id - Rencana eksekusi lahan seluas 1.312 hektare di Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, berubah menjadi panggung perlawanan. Ratusan warga dari tiga desa memblokir kawasan Nagori Pokan Baru, menolak pelaksanaan konstatering dan sita eksekusi oleh Pengadilan Negeri Simalungun, menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan PT Kwala Gunung, 11 Juni 2025

Namun di balik konflik lapangan, tersingkap krisis agraria yang berlapis—soal tanah, kekuasaan, sejarah, dan kedaulatan hukum.

Klaim Rakyat vs Korporasi: Di Mana Negara?

Menurut Heralius Gultom, tokoh Komunitas Petani Dosroha, warga telah mengelola lahan ini sejak era 1970-an, termasuk melalui program reboisasi bersama Dinas Kehutanan.

 “Kami tidak menolak hukum, kami menolak ketidakadilan. Lahan ini kami tanami, kami panen, sebelum PT Kwala Gunung datang dengan surat kuasa yang legalitasnya patut dipertanyakan,” tegas Gultom.


Lebih jauh, ia menyebut telah tiga kali dikriminalisasi, bersama 22 warga lain yang dipenjara atas tuduhan pencurian di tanah yang mereka garap turun-temurun.

 “Kami siap berdialog langsung dengan Direktur PT Kwala Gunung, Johan Alwi. Tapi jangan jadikan negara sebagai pelindung kepentingan korporasi. Negara harus netral,” ucapnya.


Keturunan Raja Tanah Jawa: “Ini Tanah Leluhur Kami, Bukan Tanah Negara”

Konflik ini makin kompleks ketika Jumigan Sinaga, tokoh adat dan ahli waris langsung Tuan Djintama Sinaga, angkat suara. Ia menyebut seluruh areal sengketa sebagai bagian dari tanah warisan Kerajaan Tanah Jawa Simalungun, bukan tanah negara, apalagi milik perusahaan.

 “Sebagian dari mereka sudah datang ke rumah saya, meminta ganti rugi—itu bukti bahwa mereka tahu ini tanah orang tua saya. Tapi saya tolak. Kami punya alas hak adat dan dokumen historis,” ujarnya.

Jumigan juga mengungkap bahwa pada tahun 1975, ayahnya meminjamkan 667 hektare kepada Dinas Kehutanan untuk penanaman pinus. Program itu gagal, dan tanah dikembalikan. Namun belakangan, lahan itu dialihkan diam-diam kepada PT Kwala Gunung tanpa pemberitahuan atau persetujuan ahli waris.

 “Ini bukan sekadar konflik agraria, ini skandal. Kami telah verifikasi dokumen ke Dinas Kehutanan bersama notaris Wira Susanty Manalu tahun 2017. Arsip resmi negara tidak bisa dipalsukan,” tegasnya.

Sidang PN Dibubarkan, Bukti Waris Diperlihatkan

Pada sidang 12 Februari 2025 di PN Simalungun, majelis hakim dikabarkan membubarkan sidang setelah pihak ahli waris menunjukkan dokumen waris otentik. Namun proses hukum tetap berlanjut, mengarah pada eksekusi, tanpa memperjelas asal-usul legalitas penguasaan PT Kwala Gunung.

 “Kami siap buka bukti lengkap. Kami anak sah dari Tuan Djintama Sinaga dan Sondang Butar-Butar. Ini bukan sekadar lahan, ini harga diri, sejarah, dan bukti kami masih ada,” ujar Jumigan penuh emosi.

Red Flag Agraria: Skandal Senyap di Balik Legalitas

Konflik ini menjadi cermin kegagalan negara dalam menata ulang relasi tanah antara rakyat, aristokrasi adat, dan kekuasaan korporasi. Proses pengalihan lahan dari Dinas Kehutanan ke PT Kwala Gunung disebut tertutup, tanpa transparansi, tanpa konsultasi publik, dan tanpa keterlibatan ahli waris yang sah.

Catatan Investigatif CNews:

Surat kuasa PT Kwala Gunung tak pernah dibuka ke publik.

Dokumen pinjam pakai 1975 masih tersimpan sebagai arsip resmi di Dinas Kehutanan.

Tidak ada transparansi atau dokumen resmi pelepasan lahan dari negara kepada PT.

Putusan MA tak menyentuh konflik historis dan status hak ulayat.

Indikasi pelanggaran administratif dan pidana dalam alih status tanah.

Negara Harus Hadir, Bukan Jadi Stempel Legalitas Korporasi

 konflik agraria tidak bisa diselesaikan hanya lewat putusan hukum tertulis. Negara wajib hadir sebagai penengah yang adil, tidak berpihak, dan transparan. Audit administratif atas seluruh proses penerbitan alas hak di atas tanah sengketa harus dibuka kepada publik, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


Jika dibiarkan, konflik ini berpotensi memicu instabilitas sosial, mengguncang harmoni antara masyarakat adat, penggarap, dan sistem hukum formal yang kini dipertanyakan legitimasinya.

Eksklusif: Tanah Simalungun Bisa Jadi Simbol—Atau Luka Kolektif

Simalungun kini di ambang. Di antara penggarap yang merasa dizalimi, ahli waris yang merasa dirampas, dan negara yang bungkam—terbentang krisis keadilan yang tidak boleh dibiarkan mengendap menjadi bara.

Redaksi akan terus mengawal kasus ini. Publik berhak tahu, dan hukum harus kembali pada rakyat.  ( Tim - Red)
© Copyright 2022 - Mitra Mabes News