Breaking News

Perang ku di bawah pengaruh Rohypnol = Mansion House dan Perang PIL Koplo = Genosida Satu Generasi ?


Jakarta | Mitramabesnews.id - Kota ku di tepi Laut Utara Jakarta, terkepung sistematis, terstruktur, yang terorganisir dengan didukung sebuah tatanan birokrasi bobrok, aku hanya menarik nafas, bertahan, berdarah-darah tanpa banyak harapan ?.

Gerutuku, dari peristiwa Era Rezim Orde Baru abad ke-20 ini — (Jombang-Kediri) antara 1965-1966 dari Pembunuhan masal simpatisan, saya rasa tidak perlu bercerita lebih detail terkait apa dan kenapa namun sejarah mencatat tragedi itu merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Diperkirakan 78.000-500.000 orang telah dibantai dalam kurun waktu itu, dilanjut dengan episode-episode cerita kelam Negri ini yang menghimpit dada serta kepala sampai detik ini kataku -- sambil kuraih beberapa butir butir Rohypnol (Pluitrazepam) yang kutahu  mengandung flunitrazepam, sejenis benzodiazepin sembari sesekali kutenggak
Mansion House pemberian seorang sahabat  sepulang dari London.

 Ah, kutarik nafasku dalam-dalam menikmati racun  kedalam tubuh ini.
Pikiranku mulai melayang entah kemana; Penghianatan, kudeta berdarah, atau aku yang pernah menjadi target pembunuhan karena dianggap "AKTOR INTELEKTUAL" tragedi KUDA TULI  kurun waktu (1995-2005) rezim SBY yang kukenal "PERAMPOK", sebagai Parlemen jalanan kalau di era sekarang (Outsourcing) lebih dikenal "AKTIVIS", yang konon katanya memiliki nilai jual lirihku menatap jauh lautan lepas yang diakui sebagai aku yang ada di mana-mana,  yang selesai ketika  berusia 33 , usai digerudug Satkamneg  yang di komandoi Tito karnavian —  menggunakan bahan-bahan  kesaksiannya di masa muda tentang  parlemen jalanan dan obat-obatan terlarang.

Catatan-catatan itu kukumpulkan melalui tulisan paradox. Tapi mungkin juga ini reportase jurnalistik: paparan kejadian yang  kualami. Idealisme, ya mungkin hanya aku dan Tuhan yang paham!
Pada kenyataannya, tulisanku diatas terkait Obat-obatan kini kian menggurita dan lebih merusak tatanan bobroknya birokrasi, tapi lebih mengarah ke "genosida satu generasi",  Penting untuk diingat bahwa genosida adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum internasional. Konvensi Genosida tahun 1948.

Betapa tidak, maraknya peredaran Obat-obatan terlarang yang biasa aku sebut  "PIL KOPLO"  bukan lagi terselubung namun terbuka secara terang benderang dan hapir disetiap lorong pemukiman padat penduduk. "KARTEL PEREDARAN PIL KOPLO", bukan hanya kebal hukum namun lebih SIAPA, DARI MANA, UNTUK APA, atau lebih ke titik utama si AKTOR INTELEKTUAL KAPITALIS genosida generasi.

Jangan pernah bicara Undang-Undang atau apapun bentuk yang namanya Konstitusi, karena bagi ku hanyalah sebuah kata dan tulisan yang mereka buat secara umpat-umpat atau lebih tepatnya "PRODUK DAGELAN",  karena kenyataannya peredaran  pil koplo  di kendalikan dinasti kartel yang melibatkan Banyak "OKNUM", Yah kalau kurasa tidak perlu disebutkan satu per satu!

Tapi, kataku  bertutur sistematis. Yang disampaikan bukan fiksi tapi juga rekaman kejadian nyata.  Seperti juga kemudian dalam “Perang dan Damai”, "Mansion House"
 mencampurkan “Rohypnol”, rekaman peristiwa,  dengan narasi TV. Juga: kisah perang — tentang  manusia di saat berantakan dan gagah berani dalam Pengaruh PIL KOPLO  dan "KONYOL"

Menarik,  bahwa pil koplo  kemudian dikenal sebagai ladang para oknum berwajah kapitalis lokal:  Sengkuni salah satu pengikutnya?.
Ini bukan tentang ACEH?
Ini bukan tentang JAWA?
Ini bukan tentang matrah?
Ini bukan tentang PROFESI?
Ini bukan tentang LEMBAGA?

Tapi, “PIL KOPLO selalu menarik hati saya”,
Karena mengingat ada sebuah kerajaan yang bernama KEMENTERIAN KESEHATAN yang memiliki panglima perang bernama BPOM, lalu Aku bertanya, itu kerajaan apa?
Apa hanya nomenklatur?

Saya mencoba memahaminya.

Bagaimanapun, karya seni menyimpan paradoks: sang penggubah membuat sebuah karya, tapi yang memukau dalam artikel ini adalah dinamika yang melonjak-lonjak tak ke satu arah.  Daya pukau itu — yang sering disebut “keindahan” — demikian rupa, hingga horor dan cinta, kemuliaan dan kesengsaaraan, muncul dalam banyak lapisan, yang tak selalu nampak.

Sayangnya,  “keindahan” sering disalah-fahami. Ia  hanya dianggap pesona yang membuat segala rupa, juga perang, jadi estetis. Penonton wayang kulit tahu: pertempuran habis-habisan antara Bima dan Suyudana bisa jadi sebuah “spectacle”  yang meriah dan memikat. Atau,  untuk memakai komentar  Peran kerajaan yang dimaksud dalam “cerita PIL KOPLOl”, perang bisa hanya   “barisan-barisan yang tertata, rampak, dan gilang gemilang, musik dan genderang yang ditabuh, bendera-bendera yang berkibar, para jenderal berkuda yang lincah”.  

Perang memang bisa tampak sedap — terutama dari atas, dari kamar para jenderal, pakar strategis dan  analis (seperti yang kini kita ikuti di pelbagai saluran TV dalam siaran Perang IRAN_ISRAEL). Kengerian tak ikut membangun narasi, kematian hanya sebagai bagian drama, tubuh yang hancur hanya dilihat sejenak.

Dalam satu adegan “ROHYPNOL  DAN SEBOTOL MANSION HOUSE ”, aku yang mulai setengah terbaring dengan kepala masih tersandar tiang kayu dermaga memandang ke angkasa, menyaksikan indahnya malam yang hanya sedikit bintang yang seolah paham kegundahanku tentang pil koplo = Genosida Generasi ?.

“Quel charmant coup d’oeil, non?” (Pemandangan yang indah, bukan?), kata ku kepada sang "TUAN".
“Tuan tahu, tak mudah membedakan bintang-bintang dari bom”.  

Dan ku yakin Tuan setuju.

PIL KOPLO  itu sebuah kontras dari apa yang di luar — di bawah. 

Di saat aku terbuai Rohypnol =  Mansion House — opsir muda  itu— tiba,   ia melihat ku yang tanpa antusiasme, tanpa gairah tempur dan tekad untuk mati. Ia mulai meragukan namun belum memutuskan?.
Namun ku paham, opsir muda itu paham  rasa sakit dan kengerian ku yang tak bisa sepenuhnya disampaikan…

Sang opsir muda mendekati ku. Ia bertanya antara  ragu dan malu-malu: ‘Di mana lukamu?’. 

Ya, ia ragu dan malu, “sebab penderitaan tampaknya tak hanya membangkitkan rasa belas ….melainkan juga rasa hormat yang dalam.”

Di antara prajurit tempur  yang jauh dari kamar para jenderal, tak ada yang estetik. Juga tak ada perang sebagai, (menurut theori Clausewitz) , kelanjutan sebuah kebijakan yang dipikirkan. Tak ada “the art of war”, kiat berperang menurut Sun Tzu. Yang ada kepedihan, tapi juga kegigihan orang-orang tak bernama, yang menimbulkan “rasa hormat yang dalam”.  Mereka yang di atas tahta bisa memaklumkan kalah dan menang, tapi bagi yang tiap saat di batas ada dan tiada, apa arti kalah dan menang?

Aku tertidur tak sadarkan diri disaksikan langit yang mulai gelap serta dentuman ombak bak rudal penjelajah Iran, Tapi opsir muda hanya memandangi, masih kuingat gerutunya, ada yang “indah” dalam tidurmu.

(Romli S.IP)
© Copyright 2022 - Mitra Mabes News