Labuhanbatu | Mitramabesnews.id -
Kasus pengeroyokan terhadap dua wartawan oleh puluhan debt collector yang mengaku utusan ACC Finance Rantauprapat, Jumat (19/9/2025), berkembang menjadi isu serius. Persoalan ini bukan hanya terkait tindak pidana kekerasan, tetapi juga menyangkut aspek legalitas kuasa penagihan, kewajiban sertifikasi debt collector, hingga dugaan praktik penghindaran pajak.
Peristiwa yang terjadi di depan kantor ACC Finance Jalan Sisingamangaraja, Rantauprapat, terekam jelas dalam video yang beredar di media sosial. Kedua wartawan yang berupaya mengingatkan agar proses penarikan mobil sesuai prosedur hukum justru dianiaya. Laporan resmi telah diterima Polres Labuhanbatu dengan Nomor STPL: LP/B/1137/IX/2025/SPKT/POLRES LABUHANBATU/POLDA SUMUT.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019, eksekusi jaminan fidusia hanya sah apabila debitur menyerahkan barang secara sukarela atau melalui penetapan pengadilan. Artinya, ACC tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penarikan paksa dengan melibatkan pihak ketiga yang tidak berwenang.
Lebih jauh, praktik pelibatan penagih tanpa sertifikasi resmi dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) maupun pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpotensi cacat hukum. Aturan OJK dengan tegas mewajibkan setiap tenaga penagih memiliki sertifikasi profesi sebagai bentuk jaminan etika dan kepatuhan. Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa yang beroperasi bukanlah tenaga profesional, melainkan kelompok yang menggunakan kekerasan.
OJK bahkan memiliki kewenangan untuk mencabut sertifikasi bagi penagih yang melanggar aturan. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah ACC benar menggunakan penagih bersertifikasi, atau justru membiarkan praktik premanisme berlangsung atas nama perusahaan?
Selain itu, keterlibatan debt collector ilegal juga menimbulkan dugaan adanya potensi penghindaran pajak. Sumber internal keuangan menilai, pembayaran jasa penagihan secara tunai tanpa bukti resmi dapat digunakan untuk menyembunyikan biaya operasional di luar pembukuan. Jika hal ini benar, maka ACC berpotensi menikmati keuntungan melalui pengurangan kewajiban pajak secara tidak sah. Praktik semacam ini dapat dikategorikan sebagai tax evasion yang memiliki konsekuensi pidana.
Menyikapi persoalan tersebut, sejumlah LSM, organisasi pers, dan pemerhati hukum di Labuhanbatu mendesak:
Polres Labuhanbatu segera menangkap seluruh pelaku pengeroyokan dan memeriksa manajemen ACC Finance Rantauprapat selaku pemberi kuasa.
OJK melakukan investigasi menyeluruh atas legalitas sertifikasi debt collector yang digunakan ACC serta menjatuhkan sanksi tegas bila terbukti ada pelanggaran.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memeriksa potensi penghindaran pajak dari pembayaran jasa penagihan di luar sistem resmi.
Pemkab Labuhanbatu mendukung langkah penertiban agar perusahaan pembiayaan tidak seenaknya mengoperasikan premanisme berkedok penagihan.
Kekerasan terhadap wartawan hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: kuasa hukum yang cacat, praktik premanisme yang dilegalkan, serta potensi kerugian negara akibat pajak yang tidak tertagih.
Jika dibiarkan, masyarakat Labuhanbatu akan dipaksa hidup dalam situasi “hukum rimba”, di mana korporasi lebih berkuasa dibanding aturan negara. Karena itu, ACC Finance wajib bertanggung jawab penuh, baik secara pidana, perdata, maupun administratif. Apabila terbukti melakukan pelanggaran berulang, maka pemerintah daerah patut mempertimbangkan pencabutan izin operasional perusahaan tersebut di wilayah Labuhanbatu.
Hingga berita ini diturunkan, pihak ACC Finance Rantauprapat tidak dapat dihubungi untuk dimintai klarifikasi. Redaksi tetap membuka ruang hak jawab sesuai dengan prinsip keberimbangan pemberitaan.
(Tim Investigasi Redaksi)
Social Header