Jakarta | Mitramabesnews.Id -
Berkaitan dengan simpang siur isu perdamaian antara korban TAF istri pasien yang dicabuli Oknum Dokter MY yang dilaporkan ke Mapolda Sumsel dengan Nomor LPB/927XII/
2023.SPKT POLDA SUMSEL tanggal 21 Desember 2023 lalu. Kurnia Saleh Direktur LBH Qisth selaku kuasa hukum korban menilai banyak hal yang telah disampaikan ke publik yang tidak sesuai fakta dan tendesius menyudutkan kliennya selaku korban. Untuk itu dia
menerangkan beberapa hal sebagai berikut :
“Pertama, terkait isu bahwa korban belum mencabut kuasa terhadap kuasa hukum
sebelumnya, Saya selaku kuasa hukum korban tegaskan itu tidak benar. Korban telah
melakukan pencabutan kuasa pada tanggal 9 April 2024 terhadap kuasa hukum
sebelumnya. Artinya terhitung sejak tanggal 9 April 2024, Korban tidak lagi memiliki kuasa
hukum. Kemudian pada tanggal 26 April 2024 Korban TAF dan suaminya meminta kepada
Tim advokasi dari LBH Qisth untuk mendampinginya dalam perkara ini dan memberikan
kuasanya kepada Tim advokasi dari LBH Qisth. Sehingga yang diakui secara hukum yang
berhak bertindak untuk dan atas nama korban per 26 April 2024 adalah tim advokasi dari kantor hukum LBH Qisth.”Ujar Kurnia
“Apabila terdapat pihak yang masih mengklaim bahwa ia masih sebagai kuasa hukum
korban TAF maka dipastikan itu mengada-ada. Adapun alasan dari pihak luar yang belum menerima pencabutan kuasa dari klien kami tidak bisa dijadikan alasan. Karena, Pencabutan kuasa tidak perlu konfirmasi atau persetujuan penerima kuasa. Pencabutan kuasa sebenarnya cukup secara verbal yang diucapkan dari pemberi kuasa. Namun, klien kami menunjukan iktikad baik, sehingga pencabutan kuasa dibuat dalam bentuk tertulis, dan
disampaikan secara patut. “
Kesimpulannya, jika terdapat oknum pengacara yang mengatasnamakan korban sudah jelas itu tidak mempunyai legal standing. Kuasa hukum korban dan keluarga korban saat ini
adalah Tim Advokasi dari LBH Qisth yang saya pimpin dibuktikan dengan surat kuasa tertanggal 26 April 2024 dari Korban dan Keluarga Korban.”Ucap Kurnia
“Kurnia Melanjutkan, pada poin Kedua, berkaitan dengan perdamaian antara korban dan oknum dokter MY. Saya sampaikan bahwa perdamaian itu benar adanya, dengan alasan para pihak sudah saling memaafkan. Karena itu sebenarnya diakibatkankesalahpahaman
dan klien kami sepakat untuk mencabut Laporan Polisi yang telah dibuat klien kami selaku Pelapor Korban di Polda Sumsel, adapun permohonan pencabutan Laporan Polisi dan Surat
Perdamaian tersebut sudah kami serahkan ke pihak kepolisian.”Imbuhnya
“Kurnia melanjutnya, pada poin Ketiga, Muncul suara sumbang dari pihak yang
mempersoalkan timing perdamaian yang dianggap bermasalah. Seolah-olah perdamaian terjadi setelah ditetapkan tersangka itu secara hukum tidak bisa dilakukan. Padahal sebelum
atau sesudah penetapan tersangka dilakukan itu sah-sah saja secara hukum.
Terhadap pihak yang mempersoalkan perdamaian ini kami menilai itu sangat lucu dan kami nilai ada
motivasi lain dari pihak tersebut.”Pukasnya
Keempat, menurut Kurnia ada pihak yang mengatakan perdamaian tidak dapat
menghentikan proses hukum pidana yang sedang berjalan, maka ia menyampaikan itu tidak berdasar. Pernyataan itu terbantah secara teoritis maupun secara praktis, Secara teoritis,
perdamaian dibenarkan secara hukum. Asasnya pidana itu ultimum remedium yang mana pidana ini upaya hukum terakhir. Perdamaian itu hak korban sebagai pelapor, Normanya
pada kasus ini merujuk pada Pasal 65 ayat 1 UU Tindak Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap hak korban yang diatur dalam
peraturan perundang undangan itu dinyatakan tetap berlaku.
“Menurut Kurnia, Perkapolri nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restorative Justice (RJ) menjadi salah satu peraturan perundang undangan yang berlaku sebagaimana dimaksudkan UU TPKS tersebut. Adapun berkaitan
dengan Perdamaian sebagai dasar penghentian perkara itu dibenarkan, menurut Perkapolri 8 tahun 2021 pada Pasal 5 dan Pasal 6 telah dijelaskan, bahwa selain tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana keamanan negara dan tindak pidana terhadap nyawa orang, maka tindak pidana lain dapat dilakukan RJ. Ketentuan ini
merupakan syarat materil untuk dapat dilakukannya RJ. Adapun Syarat formilnya adalah adanya perdamaian itu sendiri, yang outputnya nanti perkara dapat dihentikan dengan dasar
RJ.”
“Ditambahkan Kurnia bahwa Faktanya, para pihak sudah berdamai secara patut, dan ruang untuk dilakukan perdamaian dibenarkan menurut hukum. Sehingga apabila terdapat pihak
yang mengatakan perdamaian tidak sah ini dasarnya apa? Menurut hukum atau ada motif
terselubung? Kalau menurut hukum, hukum pun membenarkan. Lucu juga jika ada pengacara yang lebih memilih berseteru, padahal instrumen untuk berdamai itu telah ada
secara hukum.”Ujar Kurnia
“Jika semangat semua pengacara dalam membela kliennya tujuannya hanya untukberseteru, hal ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip hukum pidana itu sendiri sebagai upaya hukum terakhir bukan upaya hukum pertama dan satu-satunya. Artinya, pihak yang
mendalilkan perdamaian tidak menjadi alasan proses hukum dapat dihentikan telah terbantah dengan konstruksi berpikir di atas.”
Kurnia menuturkan kuasa hukum atas nama korban dan keluarga korban mengucapkan terima kasih dan rasa syukur atas peran Polda Sumsel yang telah mengawal proses hukum
ini, dan penanganan perkara dengan prinsip Polri Presisi, kami percaya kepada pihak Polda Sumsel mampu menyelesaian persoalan ini dan mampu meredam potensi konflik yang
ditimbulkan dalam perkara ini.
“Kami atas nama kuasa hukum korban dan keluarga korban berharap ini selesai, dan semua perdebatan perdebatan yang muncul di masyarakat melalui penjelasan ini mudah mudahan menjawab keresahan yang ditimbulkan selama ini.”Tutup Kurnia Saleh dalam Keterangan
Press Release 26 April 2024
Red.Susanto
Social Header